Konservasi Sumber Air dengan Sistem Tanam BAIS

Gunungkidul (25/10) – Koalisi ADAPTASI mengunjungi Komunitas Resan Gunungkidul pada Selasa (24/10). Bertempat di Kalurahan Banaran, Playen, Gunungkidul, pemilihan lokasi karena kondisinya yang kering, panas, dan rentan kekurangan air—sama seperti di tiga wilaya kerja Koalisi ADAPTASI di Nusa Tenggara Timur: Kabupaten Rote Ndao, Lembata, dan Sumba Timur. Kunjungan ini merupakan salah satu kegiatan dari pertemuan tahunan Koalisi ADAPTASI yang diselenggarakan di Yogyakarta selama 4 hari, Minggu-Rabu (22-26/10).

Komunitas Resan Gunungkidul merupakan gerakan swadaya yang fokus pada konservasi sumber daya air berbasis masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Pegiat Komunitas Resan Edi Padmo mengajak sekitar 20 orang anggota koalisi berkeliling menilik beberapa sendang dan sumber mata air di Kalurahan Banaran.

“Orang zaman dulu sangat menghormati sumber mata air. Mata air dianggap suci. Jadi ketika menggunakan sumber mata air, mereka membuat kolam atau sendang yang dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi atau mencuci sehingga air yang sudah terpakai tidak kembali ke sumber mata air” papar Edi saat mengunjungi salah satu titik mata air dan sendang kepada anggota koalisi.

Melihat kondisi alam di Gunungkidul, maka menjaga dan melindungi sumber mata air menjadi penting. Komunitas Resan memperkenalkan sistem tanam BAIS sebagai salah satu upaya konservasi air. Sistem tanam BAIS merupakan akronim dari penggabungan tiga media tanam sebagai solusi menanam bakal pohon saat kondisi tanah tandus dan kering atau musim kemarau, yaitu Batu, Ajir Infus (batang bambu), dan Batu.

Pegiat Komunitas Resan lainnya, Angga, mempraktekkan menanam bibit jambu air di salah satu sumber mata air. Pertama, Angga membuat lubang tanam berukuran 35 x 35 sentimeter dengan kedalaman kira-kira 40 sentimeter kemudian disiram merata. Selanjutnya, memasukkan sabut kelapa dan posisikan menyerupai mangkok lalu meletakkan dua bambu infus di atas sabut kelapa sebelah barat sementara tanaman di sebelah timur.

“Dengan posisi ini bibit tanaman dapat sinar matahari setengah hari saja sehingga mengurangi stres karena terik cahaya,” terang Angga. Setelah itu, tutup lubang tanam dan siram merata lalu tata batu melingkari pokok tanaman sebagai pengganti mulsa dan pembatas/penghalang rambatan api.

Beberapa anggota Koalisi ADAPTASI praktek menanam bibit pohon dengan sistem yang sama di Hutan Wanadesa Banaran. Tiap anggota bergotong royong melakukan langkah demi langkah proses tanam BAIS.

“Pekerjaan ini memang kecil tetapi penting. Apalagi ikut menghadirkan air dari dalam tanah ke permukaan. Banyak orang bisa hidup tanpa cinta tetapi tidak ada seorangpun bisa hidup tanpa air,” ucap Direktur Yayasan Barakat Benediktur Bedil. (LA)

15 Tahun Dukungan IKI dalam Upaya Pemulihan Lingkungan di Indonesia

Jakarta (9/10) – Para penerima dana hibah program International Climate Initiative (IKI) Indonesia bertemu dalam 5th IKI Networking Workshop di Pullman Hotel Jakarta. Kegiatan rutin yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali ini juga menandai 15 tahun perjalanan program IKI di Indonesia dalam mendukung upaya-upaya pemulihan lingkungan akibat perubahan iklim, polusi, dan deforestasi.

Implementasi program IKI di Indonesia merupakan kerjasama bilateral antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman dalam berkolaborasi dan berbagi peran penguatan kebijakan di bidang energi, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. Per September 2023, tercatat ada 49 proyek aktif yang terbagi dalam bidang kehutanan, mitigasi, adaptasi, dan keanekaragaman hayati, termasuk yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Desa Lestari.

Deputi Kementerian Bidang Maritim dan Sumber Daya Alam BAPPENAS Vivi Yulaswati menyampaikan bahwa dalam salah satu prioritas utama dalam RPJPN 2025-2045 adalah keanekaragaman hayati. “Kerja sama lebih lanjut dengan beberpa Kementerian IKI di Jerman untuk meningkatkan dampak ganda dengan mengembangkan dan mendukung penerapan strategi transisi energi termasuk clean energy, efisiensi energi, energi terbarukan, dan mewujudkan akses energi yang adil terkait dengan perubahan iklim dan aksi keanekaragaman hayati di Indonesia,” papar Vivi.

Kegiatan ini juga menjadi ajang refleksi dan mendiskusikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh 39 organisasi dalam implementasi program IKI di Indonesia. Salah satu tantangan yang sempat didiskusikan adalah kesesuaian isu program dengan rencana pembangunan pemerintah daerah dan pemerintah desa. Hal ini juga dialami oleh Perkumpulan Desa Lestari dalam implementasi program di Kabupaten Kerinci.

“Ada benang yang terputus dari perencanaan di tingkat kabupaten dengan di tingkat desa, sehingga desa perlu melakukan review RPJMDes dan memasukkan isu lingkungan hidup,” ujar Ira Wulandari, Kasubid Lingkungan Hidup Bappeda-Litbang Kabupaten Kerinci dalam merefleksikan perjalanan implementasi program di Kabupaten Kerinci.

5th IKI Networking Workshop dihadiri oleh kurang lebih 120 orang dari 39 organisasi implementor, political partner program, dan representatif Kementerian IKI. Pada sesi talkshow yang dipandu Andhyta F. Utami dari Think Policy menghadirkan narasumber dari Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan akademisi dari IPB. Pada kesempatan ini pula beberapa organisasi menampilkan hasil-hasil kerja pada marketplace yang memungkinkan kolaborasi antar organisasi yang lebih luas. (NP)