BUMDes Sumber Joyo Jadi Ujung Tombak Penyelesaian Sampah Kabupaten Kudus

Tempat Pengelolaan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) Desa Kedungdowo, Kudus, semula tidak terkelola dengan baik. Sampah masih berserakan meski Pemerintah Desa sudah memfasilitasi armada pengangkut sampah. Imbasnya masyarakat kerap mengeluh karena sampah menumpuk. Jadi ketika Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sumber Joyo terbentuk pada September 2022, Pemerintah Desa menyerahkan pengelolaan sampah ke BUMDes, dengan harapan pengelolaan yang lebih baik.

Belum Dapat Untung

BUMDes Sumber Joyo harus menghadapi fakta bahwa unit usaha pengelolaan sampah yang sedang dijalankan belum bisa memberikan keuntungan. Retribusi pelanggan hanya bisa menutup biaya operasional usaha setiap bulan dan mengurangi kerugian yang disebabkan beban penyusutan peralatan dan kendaraan pengangkut sampah. Bahkan pengurus BUMDes belum mendapat gaji. Kendati demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat pengurus BUMDes.

“BUMDes bisa menyelesaikan masalah sampah di Desa Kedungdowo saja sudah bagus,” kata Direktur BUMDes Syaiful Anas. Pasalnya Desa Kedungsowo merupakan desa terluas dengan jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Kaliwungu, otomatis menjadi penyumbang sampah terbanyak di desa itu. Dengan menangani sampah dari 2.152 pelanggan rumah tangga dan non rumah tangga saat ini berarti BUMDes sudah membantu menyelesaikan 65% masalah sampah di Desa Kedungdowo.

Pengelolaan sampah oleh BUMDes pun diprioritaskan untuk pelayanan, maka harus ada usaha lain sebagai sumber pendapatan tambahan supaya BUMDes bisa mendapat keuntungan. BUMDes mengusulkan usaha toko alat listrik. Sembari menunggu anggaran dari Pemerintah Desa, BUMDes menjalankan usaha penjualan gas elpiji isi ulang yang bekerja sama dengan agen di desa dan bekerja sama dengan PT Djarum untuk menjual limbah tali pengikat tembakau.

Jadi Pusat Pengelolaan Sampah Kecamatan Kaliwungu

Kerja keras dan konsistensi pengurus BUMDes Sumber Joyo dalam menangani sampah menarik perhatian Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup (PKPLH) Kudus dan PT Djarum. Dinas PKPLH menetapkan TPS3R Desa Kedungdowo menjadi pusat penanganan sampah Kecamatan Kaliwungu. Kini BUMDes tengah dipersiapkan untuk menangani sampah tidak hanya dari Desa Kedungdowo tapi juga dari desa-desa lain di Kecamatan Kaliwungu.

“Ini akan membantu meringankan beban TPA Tanjungrejo yang saat ini mulai kewalahan menerima kiriman sampah dari seluruh wilayah Kabupaten Kudus. Untuk tujuan tersebut maka dinas PKPLH Kudus dan PT Djarum akan menyediakan fasilitas-fasilitas pengolahan sampah modern di TPS 3R Kedungdowo,” kata Project Officer Mikdon Purba.

Tanggung jawab BUMDes Sumber Joyo akan semakin besar karena menjadi salah satu ujung tombak penyelesaian masalah sampah di Kabupaten Kudus. Hal ini merupakan tantangan yang besar tapi ada potensi pendapatan yang besar juga untuk BUMDes, yaitu dari retribusi sampah yang masuk dari luar desa dan produk-produk hasil pilahan sampah.

Selain itu BUMDes Sumber Joyo bisa menjadi pusat studi yang akan banyak dikunjungi oleh pihak dari luar untuk belajar mengenai pengelolaan sampah mandiri karena di mana-mana sampah menjadi masalah yang mendesak untuk ditangani. BUMDes yang sudah berhasil mengembangkan metode pengelolaan sampah mandiri membuktikan bahwa kunjungan belajar seperti ini justru menjadi sumber pendapatan yang sangat besar.

Perjalanan BUMDes Sumber Joyo memang berliku. Namun proses yang dilalui selama ini sedikit demi sedikit telah membentuk aspek usaha dan kelembagaan BUMDes ke arah yang lebih baik. Beberapa faktor yang membuat BUMDes Sumber Joyo bisa bertahan adalah adanya dukungan dari pemerintah desa, selalu melakukan evaluasi dan perbaikan, peka terhadap peluang, dan menjalin kemitraan dengan pihak lain. (MP)

Ubah Kebiasaan Warga, BUMDes Rintis Desa Mandiri Sampah

Tumpukan sampah di tanggul jadi pemandangan biasa di sepanjang jalan utama Desa Sambung, Kecamatan Undaan, Kudus. Tempat itu memang sasaran warga untuk membuang sampah. Praktik ini dilakukan karena belum ada pihak yang mengatur pengelolaan sampah di desa. Akibatnya, sampah-sampah yang menumpuk naik ke permukaan jalan ketika musim hujan hingga menganggu lalu lintas.

Melihat kondisi ini, kepala desa Sambung Astuti Widiyawati prihatik dengan kebiasaan warga yang membuang sampah tidak pada tempatnya. “Sekadar memberi larangan bukan solusi yang efektif. Harus ada cara supaya sampah bisa dikelola dengan maksimal,” ucapnya.

Langkah awal yang dilakukan Astuti adalah membangun fasilitas pengelolaan sampah yang jauh dari pemukiman warga. Selanjutnya dia menentukan entitas yang bertanggung jawab mengelola sampah. Akhirnya Astuti memilih menghidupkan kembali Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Widjoyo Raharjo yang sebelumnya berhenti untuk mengelola sampah. Pelimpahan pengelolaan ini tidak lepas dari landasan hukum yang sudah dikantongi sehingga BUMDes dianggap sebagai entitas yang mampu beroperasi secara mandiri.

Pengurus BUMDes dan Astuti berkolaborasi memperkenalkan layanan pengambilan sampah sebagai kegiatan usaha BUMDes kepada masyarakat desa setempat. Mereka mengajak warga untuk menjadi pelanggan pengambilan sampah oleh BUMDes. Dengan begitu harapannya praktik membuang sampah di tanggul bisa berkurang.

Masyarakat meyambut baik layanan pengambilan sampah dan tidak terbebani untuk membayar retribusi yang sudah ditentukan setiap bulan. Sebanyak 299 rumah terdaftar menjadi pelanggan.

Setiap hari pegawai BUMDes mengambil sampah di rumah pelanggan dan diantar ke TPS. Selanjutnya sampah-sampah dipilah menjadi tiga jenis: organik, anorganik, dan residu. Tiap jenis sampah mendapat perlakuan yang berbeda. Sampah organik dan residu dibakar menggunakan incinerator sedangkan sampah anorganik dijual oleh pegawai BUMDes.

Layanan pengambilan sampah perlahan mengubah kebiasaan warga yang membuang sampah di tanggul. Dua bulan berjalan, kegiatan ini mulai menyadarkan warga pentingnya menjaga lingkungan. Hasilnya praktik membuang sampah sembarangan sudah tidak banyak lagi dilakukan oleh warga desa. (EL)

Berawal Usaha Tanpa Modal, BUMDes Berhasil Sumbang PADes

Desa Kaliputu sudah berencana mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejak 2017 tapi terkendala oleh pencarian pengelola dan merencanakan jenis usaha. Enam tahun kemudian, BUMDes baru terbentuk setelah mendapat pendampingan dari PT Djarum melalui Perkumpulan Desa Lestari.

BUMDes yang bernama BUMDes Mukti Makaryo ini dipimpin oleh Wijono sebagai direktur. Setelah mengantongi legalitas, Wijono bersama pengurus BUMDes sepakat menjalankan tiga unit usaha: penyewaan gedung, jasa pembayaran, dan makelar.

“Tiga usaha itu bisa langsung menghasilkan meskipun belum ada modal dari desa,” kata Wijono.

Gedung berukuran 7 x 17 meter persegi di Desa Kaliputu mulanya hanya jadi saksi bisu dari berbagai kegiatan desa. BUMDes pun menyulap gedung itu menjadi aset yang bisa menghasilkan. Pengurus mematok tarif sewa Rp500 ribu per hari dengan biaya tambahan untuk perlengkapannya. Tarif ini relatif murah dibanding dengan tarif persewaan gedung lain sehingga menarik minat pelanggan.

Promosi yang gencar dilakukan oleh pengurus menjadi kekuatan BUMDes hingga semakin dikenal warga dari desa-desa lain. Tidak hanya gedung, ada juga pelanggan yang menyewa kursi dan halamannya untuk acara lomba ayam pelung (hias). Hal ini tentu menambah pendapatan BUMDes Mukti Makaryo, “Usaha persewaan gedung sudah ada yang booking dari bulan Januari kemarin sampai Juni 2024,” ujarnya.

Selain persewaan gedung, BUMDes mengembangkan unit usaha jasa pembayaran yang minim resiko dan tanpa modal. BUMDes menyasar masyarakat setempat sebagai pelanggan karena sebagian besar sibuk bekerja. Mulanya BUMDes hanya melayani jasa pembayaran PBB dengan sistem konvensional hingga akhirnya bekerja sama dengan Bank Jateng dan Samsat pada Juni 2023. BUMDes juga meluaskan jasa pembayaran PDAM, listrik, dan pajak kendaraan.

Usaha makelar yang dijalankan BUMDes hanya bersifat sampingan ketika menerima pesanan snack dus, nasi tumpeng, ATK, hingga batu nisan dari warga. Fee memang tidak menentu tapi bisa menambah pendapatan BUMDes.

Belum ada satu tahun berjalan, tiga unit usaha BUMDes Mukti Makaryo yang tampak sederhana dan tanpa modal sudah bisa menyumbang Pendapatan Asli Desa (PADes) Kaliputu. Nominalnya belum menyentuh angka jutaan tapi BUMDes sudah berkontribusi untuk pembangunan Desa Kaliputu. (IIS)

Lika-Liku Perjalanan BUMDes Surya Tirta Payaman Buahkan Hasil

Peribahasa usaha tidak mengkhianati hasil nampaknya memang benar adanya.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Surya Tirta Payaman berdiri pada pertengahan 2023. Malam itu, masyarakat desa mewarnai meriahnya pembentukan BUMDes. Momentum musyawarah menjadi ajang pengurus terpilih untuk memaparkan perencanaannya. Musyawarah desa menyepakati struktur kepengurusan sekaligus unit usaha yang akan dijalankan, yaitu usaha pengelolaan sampah.

BUMDes Surya Tirta Payaman mulanya merintis usaha hanya bermodal perencanaan usaha dan sumber daya manusia—tanpa ada penyertaan modal. Konsistensi pengurus dalam mengembangkan usaha pengelolaan sampah mampu menggerakkan Pemerintah Desa Payaman menjanjikan anggaran penyertaan modal pada APBDes 2024 sebesar Rp71 juta rupiah.

Modal dan Model Tak Kunjung Dapat

BUMDes yang usianya masih seumur jagung harus gigit jari lantaran penyertaan modal tidak kunjung turun hingga akhir tahun. Perlahan pengurus BUMDes mulai kehilangan arah hingga berencana mengakhiri pekerjaan. Namun kehadiran direktur yang tak habis akal, mengajak para pengurus memformulasi kembali rencana penerapan usaha pengelolaan sampah.

BUMDes pun melakukan uji coba pengelolaan sampah sebanyak dua kali. Pertama kali BUMDes mengerahkan dua orang sebagai pengambil sampah tetapi muncul indikasi kecurangan di satu bulan pertama. Uji coba kedua BUMDes mengerahkan lima orang pengambil sampah dengan menggunakan armada truk. Hasilnya pengambilan sampah tidak teratur, banyak sampah tidak terangkut dan menumpuk dimana mana.

“Kami selaku pengurus BUMDes tidak mempermasalahkan sistem kerja yang dilakukan, begitu juga model pengambilannya. Kami tidak mempermasalahkan berapapun ongkosnya asalkan masalah sampah bisa selesai,” ucap Heri sebagai Direktur BUMDes.

Selanjutnya pengurus berkeliling untuk menemui para ketua RT dan RW untuk mensosialisasikan rencana model pengelolaan sampah yang akan dikelola BUMDes. Pengurus mengajak para ketua RT dan RW bekerjasama dalam mendata calon pelanggan pengelolaan sampah. Hasilnya, diperoleh data calon pelanggan dari 14 RT dan 4 RW sebanyak 780 rumah.  BUMDes menetapkan tarif retribusi untuk rumah tangga sebesar Rp15 ribu dengan adanya kepastian dalam pengambilan sampah. Untuk mempermudah pengawasan, BUMDes juga menerbitkan Kartu Pelanggan Sampah.

Raup Omzet Perdana dan Perhatian Pemerintah Desa

Dua bulan aktif melangkah, BUMDes berhasil raup omzet lebih dari Rp10 juta yang didapat dari akumulasi pembayaran dari 90 persen pelanggan pada Januari 2024. Hal ini cukup memotivasi BUMDes menggaungkan usaha pengelolaan sampah ini. Pengurus RT pun ikut serta membantu BUMDes memperluas pasar dan konsumen.

Melihat kegigihan BUMDes, Pemerintah Desa Payaman mulai menyoroti usaha pengelolaan sampah dan menyadari pemberdayaan masyarakat setempat perlu ditingkatkan lagi. Pemerintah Desa mengakui bahwa pengelolaan sampah merupakan layanan dasar serta melihat ada potensi sumber daya manusia seperti kelompok atau organisasi masyarakat, seperti Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Kelompok Usaha Bersama (KUB), dan BUMDes sendiri.

BUMDes memiliki modal cukup kuat karena sudah mengantongi sertifikat berbadan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai legalitas. Selain itu, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas menjadi nilai plus yang membuat Pemerintah Desa mempercayakan pengelolaan sampah kepada BUMDes. Hasilnya BUMDes mendapat penyertaan modal sebesar Rp100 juta dan akan memiliki aset tetap berupa alat pengangkut sampah. (MP)

Mengurangi Deforestasi, Pemerintah Desa dan Kabupaten Bisa Berkolaborasi

Kerinci (2/5) – Perkumpulan Desa Lestari bersama WALHI Jambi mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Kebijakan tentang Administrasi Kawasan Desa. Kegiatan yang diselenggrakan di Kafe Cendana Sko pada Kamis (2/5) turut dihadiri oleh perwakilan desa, lembaga adat, dan BPD dari Desa Pungut Hilir, Tamiai, dan Pematang Lingkung, serta perwakilan dari Kecamatan Batang Merangin dan Pemerintah Kabupaten Kerinci.

FGD ini bertujuan untuk mengonsolidasi kepentingan masyarakat desa dengan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah kabupaten agar sinkron sehingga dapat menghasilkan sesuatu untuk kepentingan masyarakat desa. Hal ini dilakukan mengingat deforestasi sedang marak terjadi di Kerinci, sementara 60 persen wilayahnya merupakan kawasan hutan. Peningkatan deforestasi disebabkan tingginya harga kayu manis pada 2019 lalu. Akibatnya masyarakat berlomba-lomba menanam kayu manis. Membakar hutan menjadi cara mereka membuka lahan sebelum menanam kayu manis.

“Hutan di Kerinci sangat dekat dengan pemukiman masyarakat. Bahkan kawasan hutan itu ada di wilayah administrasi desa. Ketika dihubungkan, desa sebagai entitas pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat itu punya kewenangan juga untuk mengatur aktivitas di hutan dan mengatur tata lahan yang ada di kawasan desa,” kata Chairperson Perkumpulan Desa Lestari Nurul Purnamasari.

Eksekutif Daerah WALHI Jambi Eko Mulyo Utomo menyinggung bahwa desa punya kewenangan untuk mengatur tata guna lahan dan aktivitas di hutan tapi belum berjalan maksimal. Peraturan tersebut bisa dibuat secara tulisan di tingkat desa dan ditetapkan oleh pemerintah desa. “Aturan yang tadinya hanya sebatas lisan bisa terdokumentasi dan harapannya bisa diakomodir menjadi peraturan di tingkat kabupaten,” ujar Eko.

Kabid Perencanaan dan Pengendalian Evaluasi Pembangunan Daerah BAPPEDA Kerinci Febi Diostovel (tengah) (sumber: dokumentasi lembaga)

Sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang mengatur dan menyasar wilayah-wilayah desa. Ada beberapa peraturan di tingkat kabupaten yang sudah ada dan dibentuk tetapi kewenangan masyarakat desa belum membahas tentang pembangunan. Penyusunan rencana kerja dan tata ruang desa juga belum terlaksana.

Kabid Perencanaan dan Pengendalian Evaluasi Pembangunan Daerah BAPPEDA Kerinci Febi Diostovel menyampaikan pelaksanaan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) menjadi wadah menampung aspirasi untuk menentukan tujuan pembangunan daerah. “Saran saya mengurutkan kebutuhan-kebutuhan desa sesuai prioritas,” tambah Febi.

Lebih lanjut Eko menilai sebenarnya ada beberapa peluang yang bisa diambil untuk berinovasi di tingkat desa dan kabupaten sehingga desa bisa tahu apa yang hendak dilakukan. Dengan begitu, usaha mengurangi deforestasi di Kerinci dapat berjalan dengan baik. (LA)