[Kupang, 17/5] – Empat tahun perjalanan Koalisi ADAPTASI dalam program Amplifying Voices for Just Climate Action hampir berakhir. Dalam pertemuan anggota Koalisi ADAPTASI yang diadakan di Kupang pada 17 Mei 2025, merefleksikan ada banyak keluaran yang sudah dicapai, sekaligus tidak sedikit pula hal-hal yang perlu dievaluasi.
Perubahan iklim menjadi tantangan global yang nyata dan sudah dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Bagi masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dampak perubahan iklim semakin terasa pasca badai seroja yang terjadi tahun 2021, yang merusak ekosistem pesisir. Atas dukungan dari Yayasan Humanis, Koalisi ADAPTASI mengadvokasi suara-suara dari masyarakat pesisir di Kabupaten Lembata, Kabupaten Sumba Timur, dan Kabupaten Rote Ndao agar para pemangku kebijakan mendukung aksi iklim masyarakat dalam beradaptasi pada perubahan iklim.
Perkumpulan Desa Lestari, sebagai salah satu anggota Koalisi ADAPTASI, mendorongkan keberpihakan Pemerintah Desa melalui kewenangannya dalam cakupan isu lingkungan hidup. Dalam perjalanan program di ketiga kabupaten, Pemerintah Desa Lamawolo, Kabupaten Lembata melahirkan peraturan desa yang mengatur tentang pengelolaan Muro di tingkat desa, dan Pemerintah Desa Holulai, Kabupaten Rote Ndao yang sedang menginisiasi lahirnya Peraturan Desa tentang Hohorok/Papadak yang secara terpisah mengatur tentang tata pernikahan dan kehidupan sosial, dengan isu tentang lingkungan.
“Awalnya kami bingung bagaimana mendorong desa-desa bisa memasukkan isu ini (red. perubahan iklim) dalam rencana pembangunan. Ternyata ada kewenangan lokal desa yang bisa kita dorongkan untuk melestarikan adat, terutama adat yang sejatinya itu untuk menjaga alam,” tutur Benediktus Bedil, Direktur Lembata Barakat.
Dalam peraturan desa tersebut Pemerintah Desa Lamawolo menganggarkan infrastruktur pengawasan Muro dalam APBDes. Muro merupakan sistem pengelolaan sumber daya laut peninggalan nenek moyang masyarakat Lembata, dimana tradisi tersebut secara ilmiah dinyatakan sebagai konservasi ekosistem laut berbasis kearifan lokal. Sejaka 2016, Barakat Lembata menghidupkan kembali tradisi ini di beberapa desa yang kala itu dilakukan untuk menjaga ekosistem laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Melalui program Amplifying Voices for Just Climate Action, angin dari pesisir dan pulau-pulau kecil Timur Indonesia mampu dijawab menjadi 10 dokumen kebijakan dari tingkat desa, kabupaten, hingga provinsi. Di setiap kabupaten yang menjadi lokasi program lahir tiga forum multi-pihak dan satu pusat studi iklim yang bekerjasama dengan UNKRISWINA di Sumba Timur. Bahkan program ini mampu menggalang sumber daya pendanaan untuk aksi iklim secara mandiri lebih dari Rp 4 milyar. Maka, di akhir perjalanan program kolaborasi sembilan organisasi yang tergabung dalam Koalisi ADAPTASI layaklah jika diberi tajuk “Merayakan Perjalanan, Merangkai Pembelajaran, Memanen Perubahan, dan Menyongsong Keberlanjutan.” (NP)